Senin, 24 November 2008

Dua Gajih Seorang Guru

Mengemban amanah menjadi seorang panutan. Merajutnya dalam sebuah angan. Yang terkadang terbesit dalam benak seorang mudi. Memang tak sekuat sang langit yang melayang. Tapi setidaknya adalah, setitik khayal menjadi sang pahlawan tanpa tanda jasa. Yang kerap terlihat dewasa, penuh perhatian, lemnut, kocak, friendly dan terkadang cukup aneh serta misterius.
Tatkala khayal mulai menenggelamkanku pada angan, pemikiranku mulai bermain. Biasanya sih, pas lihat salah seorang guru mengajar. Contohnya saja bila kulihat seorang guru yang tengah mempresentasikan ilmunya dengan kocak, mudah dimengerti, penuh kasih saying, dll, pasti dengan reflek, saya berkata, “Wah, nanti kalo udah gede, mau jadi bapak atau ibu itu ah…..”
Memang terbilang ceplas-ceplos. Namun cukup bermakna bagiku. Karena sulit sekali menemukan seorang guru yang kriterianya sesuai dengan keinginan kita. Di tengah mumetnya pelajaran, kita butuh seorang pendongkrak semangat yang terus perhatian sama kita. Yaitu sang guru, cahaya kejenuhan kita. Pengobar semangat tatkala susah atau sulit merubungi pikiran.
Ketika aku menjadi seorang guru kelak. Aku berandai mendapat dua gajih (seperti yang Mr.Benz katakana) dan menjadi seorang yang berarti serta suri tauladan bagi anak didikku. Memerankan dengan ikhlas. Berkawan dengan visi yang penuh amanah. Mencintai segala takdir yang kelak Allah kirim untukku.
Mengapa dua gajih? Yang pertama sebagai seorang manusia biasa, aku pasti membutuhkan materi demi menunjang hidup dan berserah diri atau ibadah kepada Allah. Istilah kasar yaitu uang. Jikala kelak aku mendapat banyak peran dalam roda kehidupan, otomatis bejibun tanggung jawab pasti beralaskan materi. Maka aku terus berusaha menggenggam uang dengan mengajar yang kelak jika terjadi. Yang kedua gajih akhirat. Sebetulnya tiada angan besar, selain ridho Allah SWT. Oleh karena itu, aku ikhlas mengemban tanggung jawab beserta konsekuensi menjadi seorang guru. Karena, menjadi seorang guru berarti kita mentransfer ilmu yang tak akan pernah punah. Pada dasranya, jika kita berhasil menyalurkan ilmu, maka anak didik kita juga akan menyalurkan lagi ke generasinya. Itu berarti ilmu yang bermanfaat serta nilai plus untuk kita.
Cederung menggampangkan. Tapi itu hanya suatu pengandaian. Entah kelak akan menjadi apa sesuai takdir. Apapun harapan, ikhlas patut dikerahkan. Ilmu landasan atau alas seluruh harapan. Visi, misi dan strategi hidup harus penuh keilmuan sejak visi tersebut tercetus.
Guru, menurutku kau tiang yang kompleks. Dengan ilmu yang rumit kau mendorong kami menuju gerbang sukses. Menjadi pena yang mengukir abadi dalam masa depan kami. Membantu kami mengukir kembali teloranmu pada generasi kami. Sungguh terpuji, wahai kau bapak dan ibu guru. Pelita hidup dengan berjuta ilmu.
Andai aku menjadi seorang guru kan ku kepakan sayap ilmu tanpa pelit sedikitpun. Mencetak kasih sayang agar muridku nyaman denganku. Ikhlas dan mengharap ridho Allah SWT.